Jumat, 27 Februari 2015
Ini cerita tentang kyai Syukri yang cerdik dan sering disebut sebagai "godfather kelompok mafia intelektual" di sebuah daerah di Jawa Tengah. Dia cerdik dalam membuat pendapatnya paling unggul, disimak, dan seperti merangkum semua pembicara lain dalam setiap pertemuan, dengan cara bicara paling akhir. "Merk dagang" kyai Syukri yang sudah diketahui semua orang adalah angkat telunjuk dengan berkata,"apa masih ada waktu buat saya?", persis ketika acara akan diakhiri.
Suatu kali sejumlah orang Muhammadiyah dan NU dengan bergurau memperdebatkan soal "hadiah" membacakan surat Al-fatihah kepada orang yang sudah meninggal. Apakah "kiriman" itu bisa sampai kepada sang arwah, seperti pos kilat yang menyampaikan paket ke suatu alam dalam kehidupan dunia? Apa dasar pendapat yang diikuti masing-masing pihak?
Yang dari muhammadiyah tidak melihat "dalil yang dapat dipegang"dari Al-Quran maupun Hadist Nabi Muhammad, untuk menunjang kemungkinan kiriman via "Pos Akhirat" sampai ke tujuan di alam sana.
Yang NU berpegang pada pendapat para ulama Mazhab yang empat, yang menerima kemungkinan seperti itu.
Pandangan Kyai Syukri? Semua orang menatapnya dengan penuh harapan. Ternyata harapan mereka tidak meleset. "Hadiah fatihah tidak sampai ke alamatnya menurut Imam Safi'i,"kata kyai Syukri. "Ia sampai menurut ketiga imam lainnya. Jadi kita ikuti suara mayoritas sajalah."
Semua lega. Yang dari Muhammadiyah merasa aman karena pendapat mereka juga sejalan dengan pendapat imam pendiri mazhab yang paling banyak diikuti di Indonesia. Yang dari NU gembira karena masih bisa mengirim "hadiah ulang tahun (kematian)" yang mereka warisi dari para kyai zaman dulu.
"Sudah tentu kirimannya tidak segera sampai secepat pos kilat khusus karena tidak didukung oleh Imam Safi'i" komentar Gus Dur,"tapi mereka toh sudah biasa dengan pola alon-alon asal kelakon?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar