Jumat, 31 Oktober 2014

Asa Terurai Melahirkan Cahaya

Tak terasa, usia pernikahan aku dan Mas Epik sudah memasuki tahun ke empat. Yang awalnya cuman berdua, kini keluarga kecil kami telah dilengkapi dua buah hati, Sazia dan Fauzan.
Semenjak tahun ke dua pernikahan kami, aku selalu punya keinginan untuk segera memiliki rumah sendiri. Kalau uang dipakai buat nyewa rumah terus tiap tahunnya, kan sayang. Maka sejak saat itu, aku bertekad untuk berhemat agar bisa nabung, mengumpulkan uang buat beli rumah.
“Bu, aku mau beli mainan-mainan kaya punya Raihana Bu!!” Rengek Sazia, anak pertamaku yangg baru menginjak usia tiga tahun.
“Sazia, Ibu nggak punya uang Nak.” Jawabku sambil menatap matanya lekat.
“Yaah, Ibu. Selalu, kaya gitu. Gak punya uang mulu. Bocen!”
Tapi alhamdulillah, Sazia belum pernah ngadat kalau ingin dibelikan sesuatu. Mungkin karena sudah biasa dapat penolakan.
“Sayang, baju kerjaku sepertinya sudah pada belel deh. Kadang aku jadi gak pede makenya. Kira-kira ada anggaran gak buat bisa beli baju kerja baru?” Tak butuh waktu lama, aku langsung menggeleng.
“Sabar, Mas. Pake aja dulu yang itu. Selagi belum sobek. Mas pede aja. Siapa sih orang yang terlalu peduli dengan penampilan orang lain? Lagian, Mas kan ganteng. Jadi walau pake baju jelek juga tetep masih keliatan ganteng kok.” Hiburku.
“Bu, makannya tempe lagi, tahu lagi, tempe, tahu. Iiih, aku bocen Bu. Aku pengen sama daging ayam!” Ucap Sazia suatu makan siang.
“Hus! Kak Sazia nggak boleh gitu. Harus mensyukuri apa yang ada. Tempe tahu itu makanan bergizi tinggi. Biar Kak Sazia bisa jadi anak yang pinter.”
Aku memang berupaya semaksimal mungkin untuk bisa berhemat. Ini semua demi impianku bisa beli rumah. Ya! Uang bulanan yang dikasih suamiku selalu aku sisihkan sebagian besarnya untuk tabungan.
“Bu, minta sedekahnya Bu!” Ah, pengemis! Baru keluar dari mini market, membeli kebutuhan bulanan. Aku kurang suka pengemis, apalagi kalau melihat kondisi fisik pengemis itu yang secara fisik sehat. Aku tak menggubris pengemis itu.
Terkadang, ada juga sanak famili yang meminta bantuan. Ada yang buat berobat istrinya, ada yang buat biaya pendidikan anaknya, dan sebagainya. Sudah bisa dipastikan, aku selalu menolak memberikan bantuan pada mereka. Bukan aku tak ingin, tapi hasrat dan ambisiku ingin membeli rumah tak terbendung. Bahkan untuk kepentingan diri sendiri saja, aku tahan. Aku tak pernah lagi membeli semangkuk baso. Aku hanya mengupayakan agar aku, anak-anak dan suami terpenuhi makan dan menjaga supaya keluarga kecil kami tetap sehat.
Alhamdulillah, memasuki tahun kelima, jumlah tabunganku udah mencapai 103 juta. Waah, lumayan besar. Sepertinya keinginanku akan segera tercapai. Dengan uang segitu, cukup untuk membeli rumah yang mungkin tidak terlalu mewah.
Pagi yang cerah. Secerah hatiku yang sudah membulatkan tekad untuk mengambil uang tabunganku di Bank dan segera mewujudkan impianku. Membeli rumah!!! Rasanya tidak sabar.
“Mas, aku mau nitip anak-anak ya. Aku ada perlu dulu keluar.” Pintaku pada Mas Epik.
“Mau ngapain ya?”
“Ada deh, pokoknya surprise buat Mas.”
Ya! Memang aku tak pernah menceritakan keinginanku untuk membeli rumah. Aku juga tak menceritakan bahwa aku menghemat selama ini hanya demi ingin segera mewujudkan impianku ini. Tapi syukurnya suamiku memang tak pernah mau tahu. Paling ia sempat heran, apa memang kondisi saat ini sedang begitu sulit, sehingga uang bulanan yang menurutnya bisa lebih dari cukup kalau hanya untuk memenuhi keinginan anaknya berganti lauk pauk yang lebih mewah seperti daging? Atau sekedar untuk membeli baju kerjanya yang memang sudah belel? Namun, aku selalu menjawab, “Uangnya buat tabungan masa depan, Mas.”
Aku sudah ada di Bank. Kulihat tumpukkan uang yang banyak di depan mata. Membuat kilauan-kilauan yang mungkin hanya aku sendiri yang dapat melihatnya.
Sudah kumasukkan semua ke dalam tas. Aku melangkahkan kaki dengan sangat ringan. Tunggu hei rumah! Aku akan segera memilikimu.
Tiba-tiba saja aku merasa dunia ini sangat gelap. Apa aku buta? Ah, tidak, kesadaranku mulai melemah. Aku sepertinya tidur. Tidak! Lebih tepatnya pingsan! Kenapa aku bisa pingsan? Apa aku belum makan tadi pagi? Sudah! Kenapa?
Ketika terbangun, aku mendapati diriku di sebuah lorong kamar mandi umum. Ah tidak! Apa yang terjadi? Sontak aku langsung melihat isi tasku. Dan benar dugaanku. Semua uang yang telah lelah aku kumpulkan kini telah lenyap dengan begitu mudah. Aku benar-benar rapuh. Hatiku terkoyak. Asaku seakan terlebur bersamaan dengan telah meleburnya uang itu. Siapa ya Allah? Siapa yang tega mengambil apa yang telah menjadi milikku? Uang itu, adalah harta yang selama ini sulit bagiku untuk mengumpulkannya. Tapi dia, telah tega mengambilnya, tanpa perasaan!!!
Ah, aku benar-benar berada dalam ujung penyesalan. Apa ini ya Allah? Apakah ini ujian bagiku? Atau teguran!
Rasanya malas sekali pulang ke rumah dengan hati yang begitu terkoyak. Ingin rasanya menjerit. Meluapkan segala emosi dalam diri ini. Kulangkahkan kaki dengan sangat berat. Ya! Berat sekali.
Ketika sampai di rumah, aku langsung menghampiri suamiku. Dia terlihat keheranan.
“Kenapa, Sayang? Mana nih surprisenya?” Aku tersenyum, getir.
“Maafin aku, Mas. Maafin aku!!” Berlinang air mata, karena tak kuasa menahannya.
“Maaf karena mungkin selama ini aku telah dzalim sama Mas, juga sama anak-anak. Aku terlau egois. Aku Ibu dan juga Istri yang jahat!” Ya! Hanya itu yang mampu aku ucapkan. Suamiku mengernyitkan dahinya. Mungkin heran dengan sikapku ini.
Aku menyesal selama ini mengorbankan mereka demi keinginanku. Dan Allah mungkin telah menegurku. Bersamaan dengan lenyapnya uang itu, kini kutoreh dalam hatiku sebuah janji. Janji bahwa aku akan menjadi manusia yang dermawan. Tak peduli kalau aku harus menjadi kontraktor seumur hidup. Asal keluarga, sanak famili, juga orang-orang di sekitarku bahagia.
Ternyata bagi Allah, semuanya mudah. Dia telah memberikan aku surprise, yang menghantarkan aku pada sebuah cahaya. Cahaya kebaikan yang selama ini tertutupi awan ambisiku yang mambabi buta.

Cerpen Karangan: Musyrifah Husna

0 komentar:

Posting Komentar