Jumat, 31 Oktober 2014
Sindy Putri Anastasya adalah anak dari bapak Darmawan dan ibu Santi. Dia lahir pada 26 Desember 1999, sekarang usianya 13 tahun. Shanti duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas 1. Shanti menjadi murid seni di SMP N 1 Way Jepara. Bapak dan ibunya asli orang Jawa, tapi Sindy lahir di Lampung. Bapak dan ibunya pindah ke Lampung saat mengandung Sindy sekitar 5 bulan, mereka Ke Lampung karena tugas bapak Darmawan dipindahkan oleh atasannya.
Di balik pintu kamar, Sindy sedang mempersiapkan buku pelajaran yang akan dibawa ke sekolah. Ayahnya sedang membaca koran dan ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi.
“Ayah, Sindy ayo sarapan, sudah siap nih sarapannya” ajakan ibu Santi.
“Iya bentar bu” jawab Sindy.
Sindy duduk di depan meja makan, ayahnya menyudahi membaca koran dan meneguk segelas kopi hangat.
“Ayo cepetan sarapannya, katanya mau berangkat pagi. Ayah juga mau berangkat pagi kan?” tanya ibu Santi.
“Oh iya bu, ayah lupa nih” jawab ayah sambil melihat jam.
Selesai sarapan, Sindy segera berangkat ke sekolah dan diantar ayahnya.
“Bu, Sindy berangkat ya. Assalammualaikum” Sindy pamit.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya yah bawa motor nya”
“iya bu”
Jarak sekolah Sindy dengan rumahnya kurang lebih 1,5 kilometer. Setelah sampai di depan gerbang sekolah, Sindy turun dari motor dan pamitan pada ayahnya.
“Yah, Sindy masuk ya. Hati-hati di jalan ya yah!!”
“Iya Sin” jawab ayah
Ayah Sindy pun berangkat ke kantor, Sindy pun masuk ke kelasnya. Sahabatnya yang bernama Vera Lianasari sudah menunggunya.
“Hay, maaf ya aku baru nyampe. Sudah lama menunggu ya?” tanyanya kepada sahabatnya.
“Enggak kok, aku juga baru datang. Gimana pr SBK mu? Sudah selesai belum?” tanya Vera
“Udah dong, Sindy kok belum ngerjain pr loh”
“Kirain belum ngerjain” sindir Vera
Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Karena masih awal masuk sekolah, Vera pun menanyakan excul yang Sindy ikuti.
“Sin, kamu mau ikut excul apa?” tanya Vera.
“Mmm, aku belum tau nih mau ikut apa. Kalau kamu ikut apa Ver?” Sindy bertanya balik.
“Aku sih mau ikut excul tari. Salah satu budaya Lampung yang harus dilestarikan bukan?” jawab Vera
“Iya juga sih, tapii…?”
“Tapi apa Sin? Kamu takut ibu sama bapak mu marah?”
“Salah satunya sih itu Ver.. Tapi aku kan orang jawa, mana mungkin aku bisa belajar budaya Lampung?” pikir Sindy.
“Memangnya kalau kamu orang Jawa enggak bisa belajar budaya Lampung gitu? Orang luar negeri aja banyak yang belajar budaya Indonesia, masak kita enggak mau belajar juga.” Vera mendukung Sindy.
“Kamu benar juga Ver, oke aku bakal ikut excul tari. Kita nanti berangkat bareng ya” tanya Sindy.
“Iya Sin, nanti kita berangkat jam 15.00 ya?”
“sipp deh”
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30, saatnya untuk pulang. Sindy dan Vera pulang bareng, kebetulan mereka sama-sama jalan kaki. Tak lama kemudian, Sindy sampai di depan rumah, Vera pun menuju rumahnya sendiri. Rumah Sindy dan Vera tidak terlalu jauh, hanya terhalang kurang lebih 3 rumah.
“Ver, aku masuk rumah duluan ya. kamu hati-hati di jalan”
“Iya Sin, bentar lagi aku sampai kok. Tenang aja” jawab Vera.
Vera berjalan melewati 3 rumah dan akhirnya sampai di rumahnya.
Di rumah, hanya ada Sindy dan ibunya. Ibu menanyakan kepada Sindy Excul yang akan Sindy ikuti.
“Sin, kamu ikut excul apa? Kok enggak pernah bilang sama ibu?” tanya ibu Santi.
“eee, mm aaa nnnuu bu?”
“Anu apa Sin? ditanya kok jawabnya anu anu”
“Itu bu, Sindy ikut excul taarri” jawab Sindy dengan nada suara kecil dan lambat.
“Tari? Pasti tarian Lampung. iya kan?”
“Iya lah bu, ini kan di Lampung, pasti bahasnya budaya Lampung, beda sama di Jawa” jawab Sindy
“Kamu ini selalu pintar menjawab ya. Tapi ibu sama ayah mu itu orang jawa, kembangin gitu budaya Jawa, jangan banggain budaya Lampung terus” cetus ibu Santi
“Ibu sama ayah memang orang jawa, tapi apa salah kalau Sindy belajar budaya Lampung? Sindy kan lahir di Lampung, jadi enggak salah dong kalau Sindy bangga dengan tanah kelahiran Sindy?” Sindy menjawab dengan nada kesal.
“Kamu itu ya, dibilangin susah banget.” Sahut Ibu.
Sindy langsung masuk kamarnya.
Di dalam kamar, Sindy bergumam sendiri.
“Belajar ini salah, belajar itu salah. yang benar yang mana? Emang nya kalau orang jawa enggak boleh belajar budaya Lampung?” gumam Sindy.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, di luar rumah terdengar suara yang memanggil-manggil. Sindy pun melihatnya dari jendela kamar. Ternyata yang memanggil adalah Vera. Sindy pun keluar rumah dan menemui Sindy.
“Eh kamu Ver, aku kira siapa.” Tanya Sindy.
“Hehe, kita jadi berangkat kan?” Vera bertanya kepada Sindy.
“Jadi dong, Meskipun ibu aku enggak suka” jawab Sindy.
Kemudian Sindy masuk ke rumah untuk mengambil sepatu dan tasnya.
Sesampainya di sekolah, ternyata excul tari sudah masuk. Awalnya Sindy dan Vera takut untuk masuk karena merasa malu. Tapi Bu maya, guru pembimbing excul tari memanggilnya. Mereka pun masuk ke dalam ruang tari.
Sindy dan Vera mengisi absen yang disodorkan kepadanya. Kemudian mereka mengikuti gerakan bu Maya sesuai dengan alunan musiknya yang tenang namun pasti. Mereka masih belajar gerakan tari sigeh pengunten yang dipergunakan untuk menyambut tamu.
“Kalau yang belum bisa ikutin gerakan ibu ya…!!!” teriak bu Maya dari arah depan.
“Iya bu…” mereka pun menjawab bersamaan.
Tak terasa waktu excul tari telah selesai. Bu Maya pun menyudahi excul tari hari ini.
“Karena waktu nya sudah selesai, ibu akhiri wasalamu’alaikum Wr. Wb.” Ucap bu Maya.
“Waalaikumsalam Wr. Wb.”
Murid-murid yang ikut excul tari pun mengambil tasnya kemudian pulang ke rumah masih masih. Sindy dan Vera pun pulang.
Sesampainya di rumah, Sindy bertemu dengan ibu dan ayah nya. u Santi memanggil Sindy dan bertanya kepadanya.
“Sin, dari mana kamu? Jam segini baru pulang” tanya bu Santi.
“Sindy abis pulang dari excul tari bu” cetus Sindy
“kamu ini sudah ibu bilangin jangan ikut excul tari, masih aja ikut, susah amat sih dibilangin” cetus ibu.
“Bu, sindy udah besar jadi biarin Sindy pilih sendiri. Sindy sudah merasa nyaman dengan budaya Lampung, jiwa Sindy sudah merasa menyatu dengan budaya Lampung bu” jawab Sindy dengan nada kesal.
“Pokoknya ibu tidak mau melihat kamu ikut excul tari lagi” jawab bu Santi
“Kenapa sih ibu selalu memaksakan kehendak ibu? Apa pernah ibu biarin Sindy ngelakuin hal yang Sindy suka? Enggak kan. Sekarang biarin Sindy yang memilih, toh Sindy kan yang ngelakuin bukan ibu”
Sindy berlari ke kamarnya dan menutup pintu sekencang kencangnya.
“Sindy…” teriak bu Santi.
“Sudah lah bu, biarin aja Sindy ngelakuin apa yang dia suka. Dia sudah besar dan sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk” pak Darmawan menasihati bu Santi.
“Tapi yah, yang ibu lakuin baik kan, cuman pingin ngelihat Shindy belajar tarian Jawa” jawab ibu.
Keesokan harinya, Sindy tetap mengikuti excul tari Lampung. Bahkan dia terpilih menjadi wakil SMP N 1 Way Jepara untuk mengikuti lomba tari seKabupaten Lampung Timur.
“Sin, akhir-akhir ini kamu sering pulang sore, dari mana aja kamu?” tanya ibu Santi
“Sindy latihan nari, Sindy kepilih jadi wakil SMP N 1 Way Jepara” cetus Sindy
“Ibu enggak setuju kalau kamu ikut lomba itu.” Ibu melarang.
“Bu, lombanya tuh tinggal 1 minggu lagi. Mana mungkin Sindy gak ikut lomba itu. Pokoknya ibu sama ayah harus lihat lomba itu, kalau enggak lihat Sindy enggak mau makan, meskipun ibu enggak suka kalau Sindy belajar Budaya Lampung.” Sindy memaksa ibunya.
“Ibu enggak akan datang ke acara itu, ibu enggak mau lihat” jawab ibu.
“Ibu ini jangan mentingin diri ibu sendiri dong, sekali-kali ikutin kata Sindy. Sekali aja bu” Sindy memohon.
“Sekali ibu bilang enggak, ya tetap enggak Sin”
“Terserah ibu lah, yang penting ibu dateng sama ayah, orangtua temen-temen Sindy pada dateng bu” Sindy menjawab dengan nada kesal.
Sindy langsung lari ke kamarnya dan menutup pintu sekencang-kencangnya.
“Sindy, kalau pintu nya rusak gimana? Apa kamu bisa benerin? Enggak kan?” teriak ibu Santi
“Bodo amat” cetus Sindy
“Dasar anak susah diatur” ibu mengeluarkan kata-kata kasar.
Sindy tidak mendengarkan perkataan ibunya. Sore itu terjadi pertengkaran antara ibu dan Sindy. Sindy ingin ibu dan ayahnya datang ke acara itu, tapi ibunya tidak mau.
Pagi hari nya, Sindy tidak keluar kamar. Ibu dan ayahnya membiarkan dia untuk sendiri dulu.
Setelah ibu pulang mengajar, ibu membuka tudung saji, tidak ada sayur yang berkurang, semuanya masih tetap utuh.
“Berarti Sindy tidak makan?” pikirnya.
Sinar matahari di sebelah barat pun memudar dan berganti cahaya malam, bintang-bintang di langit pun mulai bermunculan. Tapi Sindy tetap masih murung di kamar. Bu Santi pun mengajak Sindy untuk makan bersama.
“Sin, Sindy.. ayo kita makan malam, ayah udah nungguin tuh” teriak ibu dari luar kamar.
Sudah berkali-kali bu Santi memanggil-manggil Sindy, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Bu Santi mulai panik dengan keadaan Sindy.
“yah, Sindy dipanggilin kok tidak menjawab ya? Coba ayah yang bangunin!”
Bu Santi memanggil pak Darmawan untuk mengajak Sindy makan. Tetapi tetap tidak ada jawaban sama sekali. Pak Darmawan pun memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Sindy.
Setelah didobrak, pak Darmawan dan bu Santi melihat Sindy pingsan di lantai dekat tempat tidurnya. Bu Santi pun panik dan pak Darmawan segera membawa Sindy ke rumah sakit terdekat.
“Sindy, kamu kenapa? Ayo bangun dong Sin, ibu enggak tega ngelihat kamu kayak gini” ibu mengkhawatirkan Sindy.
Sesampainya di rumah sakit, Sindy langsung dibawa ke ruang rawat untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan bu Santi dan pak Darmawan menunggunya di luar.
Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Sindy keluar dan memberikan kabar tentang keadaan Sindy sekarang ini.
“Bagaimana keadaan Sindy dok?” tanya bu Santi
“Sindy baik-baik saja bu, dia Cuma kecapekan saja. Biarkan dia istirahat dan jangan sampai dia banyak pikiran” jawab pak Dokter.
“Baiklah pak, terimakasih” jawab pak Darmawan.
Bu Santi dan Pak Darmawan menemani Sindy di kamar rawatnya. Bu Santi terus memegang dan mencium tangan Sindy.
“Bangun dong Sin!! maafin ibu ya, ibu enggak bermaksud buat kamu kayak gini. Ibu janji bakal lebih baik dari yang kemaren-kemaren” gumam bu Santi
“Ibu sih, kenapa harus mentingin kepentingan ibu dari pada Sindy. Sindy itu Cuma pingin kita hadir di acara itu, enggak lebih bu” cetus pak Darmawan.
Tak lama kemudian, Sindy sadarkan diri.
“Sindy? kamu sudah bangun? Ibu khawatir sekali” bu Santi mengkhawatirkan Sindy.
“Sejak kapan ibu khawatir dengan Sindy? Bukannya ibu selalu mentingin diri sendiri” cetus Sindy.
“Kok kamu gitu sih Sin sama ibu” jawab ibu
“Sudahlah bu, ibu lupa sama pesan dokter tadi?” sahut pak Darmawan
4 hari Sindy dirawat di rumah sakit, keadaannya pun semakin membaik. Keesokan harinya Sindy pulang ke rumah, sesampainya di rumah, Sindy masih sempat memikirkan lomba tari yang dia ikuti.
“Apakah ibu sama ayah masih tetap tidak mau hadir dalam acara itu?” tanya Sindy kepada orangtuanya.
“Kamu ini baru aja sampai rumah sudah memikirkan yang lain, pikirin dulu kesehatan mu, baru yang lain kamu pikirin” jawab bu Santi.
“ishhh, ibu ini. Kalau ibu sama ayah enggak dateng, Sindy gak mau makan lagi” membuang muka.
Bu Santi dan pak Darmawan membiarkan Sindy istirahat di kamarnya. Di luar kamar, pak Darmawan membujuk bu Santi agar mau menghadiri acara itu.
“Ayo lah bu, kita datang di acara itu. Kasihan Sindy kan?” bujuk pak Darmawan.
“tapi yah, ibu enggak suka dengan tarian Lampung. Ibu juga enggak suka dengan orang Lampung yang seenaknya sendiri, suka marah marah.” Jawab ibu
“Jadi itu alasan ibu untuk melarang Sindy belajar tari dan tidak datang ke acara lomba itu? Kasian Sindy kan kalau dia nanti mengharapkan kedatangan kita? Ayo lah bu” Merayu ibu lagi.
Bu Santi masih merenungkan kedatangannya ke acara tersebut, dengan rayuan pak Darmawan, akhirnya Bu Sindy mau datang ke acara lomba tari seKabupaten. Sindy tidak mengetahui kalau ibu dan ayah nya datang ke acara tersebut.
Saatnya yang kita nantikan datang, acara lomba tari yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Peserta lomba yang tampil pertama adalah peserta lomba dari SMP N 1 Way Jepara. meskipun keadaan Sindy masih kurang sehat, Sindy tetap mengikuti Lomba tari Lampung.
Saat tampil di depan penonton, Sindy melihat semua orang yang hadir. Di sebelah barat terlihat ayah dan ibunya yang hadir dalam acara itu, hati Sindy pun merasa bahagia dan tenang.
“Akhirnya ayah dan ibu datang juga” Gumamnya dalam hati.
Semua peserta lomba telah tampil semaksimal mungkin. Dan saatnya mengumumkan pemenang lomba tari seKabupaten. Juara 3 dan 2 pun telah disebutkan, saatnya mengumumkan juara 1nya.
“Dan yang menjadi juara 1 adalah… SMP N 1 Way Jepara”
Sorak sorai dari pendukung SMP N 1 Way Jepara pun memecah ketegangan mereka. Sindy pun bangga dengan prestasi yang sudah ia capai selama ini.
Pak Darmawan dan Bu Santi menghampiri Sindy dan memeluknya.
“Maafin ibu ya sin, kalau selama ini ibu selalu mentingin keinginan ibu sendiri dan tidak memperhatikan kamu” ibu memeluk Sindy.
“maafin Sindy juga ya bu, kalau Sindy nakal dan susah diatur” Sindy membalas pelukan ibunya.
“Ibu bangga dengan mu Sin, selama ini ibu salah menilai budaya Lampung dan memandang orang Lampung itu menyeramkan.
“Jadi, ibu mengizinkan Sindy mempelajari budaya Lampung terus kan?” tanya Sindy
“Iya sin…” ibu tersenyum
Merekan pun saling berpelukan…
Cerpen Karangan: Putri Sukawati
Di balik pintu kamar, Sindy sedang mempersiapkan buku pelajaran yang akan dibawa ke sekolah. Ayahnya sedang membaca koran dan ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi.
“Ayah, Sindy ayo sarapan, sudah siap nih sarapannya” ajakan ibu Santi.
“Iya bentar bu” jawab Sindy.
Sindy duduk di depan meja makan, ayahnya menyudahi membaca koran dan meneguk segelas kopi hangat.
“Ayo cepetan sarapannya, katanya mau berangkat pagi. Ayah juga mau berangkat pagi kan?” tanya ibu Santi.
“Oh iya bu, ayah lupa nih” jawab ayah sambil melihat jam.
Selesai sarapan, Sindy segera berangkat ke sekolah dan diantar ayahnya.
“Bu, Sindy berangkat ya. Assalammualaikum” Sindy pamit.
“Waalaikumsalam, hati-hati ya yah bawa motor nya”
“iya bu”
Jarak sekolah Sindy dengan rumahnya kurang lebih 1,5 kilometer. Setelah sampai di depan gerbang sekolah, Sindy turun dari motor dan pamitan pada ayahnya.
“Yah, Sindy masuk ya. Hati-hati di jalan ya yah!!”
“Iya Sin” jawab ayah
Ayah Sindy pun berangkat ke kantor, Sindy pun masuk ke kelasnya. Sahabatnya yang bernama Vera Lianasari sudah menunggunya.
“Hay, maaf ya aku baru nyampe. Sudah lama menunggu ya?” tanyanya kepada sahabatnya.
“Enggak kok, aku juga baru datang. Gimana pr SBK mu? Sudah selesai belum?” tanya Vera
“Udah dong, Sindy kok belum ngerjain pr loh”
“Kirain belum ngerjain” sindir Vera
Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Karena masih awal masuk sekolah, Vera pun menanyakan excul yang Sindy ikuti.
“Sin, kamu mau ikut excul apa?” tanya Vera.
“Mmm, aku belum tau nih mau ikut apa. Kalau kamu ikut apa Ver?” Sindy bertanya balik.
“Aku sih mau ikut excul tari. Salah satu budaya Lampung yang harus dilestarikan bukan?” jawab Vera
“Iya juga sih, tapii…?”
“Tapi apa Sin? Kamu takut ibu sama bapak mu marah?”
“Salah satunya sih itu Ver.. Tapi aku kan orang jawa, mana mungkin aku bisa belajar budaya Lampung?” pikir Sindy.
“Memangnya kalau kamu orang Jawa enggak bisa belajar budaya Lampung gitu? Orang luar negeri aja banyak yang belajar budaya Indonesia, masak kita enggak mau belajar juga.” Vera mendukung Sindy.
“Kamu benar juga Ver, oke aku bakal ikut excul tari. Kita nanti berangkat bareng ya” tanya Sindy.
“Iya Sin, nanti kita berangkat jam 15.00 ya?”
“sipp deh”
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30, saatnya untuk pulang. Sindy dan Vera pulang bareng, kebetulan mereka sama-sama jalan kaki. Tak lama kemudian, Sindy sampai di depan rumah, Vera pun menuju rumahnya sendiri. Rumah Sindy dan Vera tidak terlalu jauh, hanya terhalang kurang lebih 3 rumah.
“Ver, aku masuk rumah duluan ya. kamu hati-hati di jalan”
“Iya Sin, bentar lagi aku sampai kok. Tenang aja” jawab Vera.
Vera berjalan melewati 3 rumah dan akhirnya sampai di rumahnya.
Di rumah, hanya ada Sindy dan ibunya. Ibu menanyakan kepada Sindy Excul yang akan Sindy ikuti.
“Sin, kamu ikut excul apa? Kok enggak pernah bilang sama ibu?” tanya ibu Santi.
“eee, mm aaa nnnuu bu?”
“Anu apa Sin? ditanya kok jawabnya anu anu”
“Itu bu, Sindy ikut excul taarri” jawab Sindy dengan nada suara kecil dan lambat.
“Tari? Pasti tarian Lampung. iya kan?”
“Iya lah bu, ini kan di Lampung, pasti bahasnya budaya Lampung, beda sama di Jawa” jawab Sindy
“Kamu ini selalu pintar menjawab ya. Tapi ibu sama ayah mu itu orang jawa, kembangin gitu budaya Jawa, jangan banggain budaya Lampung terus” cetus ibu Santi
“Ibu sama ayah memang orang jawa, tapi apa salah kalau Sindy belajar budaya Lampung? Sindy kan lahir di Lampung, jadi enggak salah dong kalau Sindy bangga dengan tanah kelahiran Sindy?” Sindy menjawab dengan nada kesal.
“Kamu itu ya, dibilangin susah banget.” Sahut Ibu.
Sindy langsung masuk kamarnya.
Di dalam kamar, Sindy bergumam sendiri.
“Belajar ini salah, belajar itu salah. yang benar yang mana? Emang nya kalau orang jawa enggak boleh belajar budaya Lampung?” gumam Sindy.
Jam sudah menunjukkan pukul 15.00, di luar rumah terdengar suara yang memanggil-manggil. Sindy pun melihatnya dari jendela kamar. Ternyata yang memanggil adalah Vera. Sindy pun keluar rumah dan menemui Sindy.
“Eh kamu Ver, aku kira siapa.” Tanya Sindy.
“Hehe, kita jadi berangkat kan?” Vera bertanya kepada Sindy.
“Jadi dong, Meskipun ibu aku enggak suka” jawab Sindy.
Kemudian Sindy masuk ke rumah untuk mengambil sepatu dan tasnya.
Sesampainya di sekolah, ternyata excul tari sudah masuk. Awalnya Sindy dan Vera takut untuk masuk karena merasa malu. Tapi Bu maya, guru pembimbing excul tari memanggilnya. Mereka pun masuk ke dalam ruang tari.
Sindy dan Vera mengisi absen yang disodorkan kepadanya. Kemudian mereka mengikuti gerakan bu Maya sesuai dengan alunan musiknya yang tenang namun pasti. Mereka masih belajar gerakan tari sigeh pengunten yang dipergunakan untuk menyambut tamu.
“Kalau yang belum bisa ikutin gerakan ibu ya…!!!” teriak bu Maya dari arah depan.
“Iya bu…” mereka pun menjawab bersamaan.
Tak terasa waktu excul tari telah selesai. Bu Maya pun menyudahi excul tari hari ini.
“Karena waktu nya sudah selesai, ibu akhiri wasalamu’alaikum Wr. Wb.” Ucap bu Maya.
“Waalaikumsalam Wr. Wb.”
Murid-murid yang ikut excul tari pun mengambil tasnya kemudian pulang ke rumah masih masih. Sindy dan Vera pun pulang.
Sesampainya di rumah, Sindy bertemu dengan ibu dan ayah nya. u Santi memanggil Sindy dan bertanya kepadanya.
“Sin, dari mana kamu? Jam segini baru pulang” tanya bu Santi.
“Sindy abis pulang dari excul tari bu” cetus Sindy
“kamu ini sudah ibu bilangin jangan ikut excul tari, masih aja ikut, susah amat sih dibilangin” cetus ibu.
“Bu, sindy udah besar jadi biarin Sindy pilih sendiri. Sindy sudah merasa nyaman dengan budaya Lampung, jiwa Sindy sudah merasa menyatu dengan budaya Lampung bu” jawab Sindy dengan nada kesal.
“Pokoknya ibu tidak mau melihat kamu ikut excul tari lagi” jawab bu Santi
“Kenapa sih ibu selalu memaksakan kehendak ibu? Apa pernah ibu biarin Sindy ngelakuin hal yang Sindy suka? Enggak kan. Sekarang biarin Sindy yang memilih, toh Sindy kan yang ngelakuin bukan ibu”
Sindy berlari ke kamarnya dan menutup pintu sekencang kencangnya.
“Sindy…” teriak bu Santi.
“Sudah lah bu, biarin aja Sindy ngelakuin apa yang dia suka. Dia sudah besar dan sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk” pak Darmawan menasihati bu Santi.
“Tapi yah, yang ibu lakuin baik kan, cuman pingin ngelihat Shindy belajar tarian Jawa” jawab ibu.
Keesokan harinya, Sindy tetap mengikuti excul tari Lampung. Bahkan dia terpilih menjadi wakil SMP N 1 Way Jepara untuk mengikuti lomba tari seKabupaten Lampung Timur.
“Sin, akhir-akhir ini kamu sering pulang sore, dari mana aja kamu?” tanya ibu Santi
“Sindy latihan nari, Sindy kepilih jadi wakil SMP N 1 Way Jepara” cetus Sindy
“Ibu enggak setuju kalau kamu ikut lomba itu.” Ibu melarang.
“Bu, lombanya tuh tinggal 1 minggu lagi. Mana mungkin Sindy gak ikut lomba itu. Pokoknya ibu sama ayah harus lihat lomba itu, kalau enggak lihat Sindy enggak mau makan, meskipun ibu enggak suka kalau Sindy belajar Budaya Lampung.” Sindy memaksa ibunya.
“Ibu enggak akan datang ke acara itu, ibu enggak mau lihat” jawab ibu.
“Ibu ini jangan mentingin diri ibu sendiri dong, sekali-kali ikutin kata Sindy. Sekali aja bu” Sindy memohon.
“Sekali ibu bilang enggak, ya tetap enggak Sin”
“Terserah ibu lah, yang penting ibu dateng sama ayah, orangtua temen-temen Sindy pada dateng bu” Sindy menjawab dengan nada kesal.
Sindy langsung lari ke kamarnya dan menutup pintu sekencang-kencangnya.
“Sindy, kalau pintu nya rusak gimana? Apa kamu bisa benerin? Enggak kan?” teriak ibu Santi
“Bodo amat” cetus Sindy
“Dasar anak susah diatur” ibu mengeluarkan kata-kata kasar.
Sindy tidak mendengarkan perkataan ibunya. Sore itu terjadi pertengkaran antara ibu dan Sindy. Sindy ingin ibu dan ayahnya datang ke acara itu, tapi ibunya tidak mau.
Pagi hari nya, Sindy tidak keluar kamar. Ibu dan ayahnya membiarkan dia untuk sendiri dulu.
Setelah ibu pulang mengajar, ibu membuka tudung saji, tidak ada sayur yang berkurang, semuanya masih tetap utuh.
“Berarti Sindy tidak makan?” pikirnya.
Sinar matahari di sebelah barat pun memudar dan berganti cahaya malam, bintang-bintang di langit pun mulai bermunculan. Tapi Sindy tetap masih murung di kamar. Bu Santi pun mengajak Sindy untuk makan bersama.
“Sin, Sindy.. ayo kita makan malam, ayah udah nungguin tuh” teriak ibu dari luar kamar.
Sudah berkali-kali bu Santi memanggil-manggil Sindy, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Bu Santi mulai panik dengan keadaan Sindy.
“yah, Sindy dipanggilin kok tidak menjawab ya? Coba ayah yang bangunin!”
Bu Santi memanggil pak Darmawan untuk mengajak Sindy makan. Tetapi tetap tidak ada jawaban sama sekali. Pak Darmawan pun memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Sindy.
Setelah didobrak, pak Darmawan dan bu Santi melihat Sindy pingsan di lantai dekat tempat tidurnya. Bu Santi pun panik dan pak Darmawan segera membawa Sindy ke rumah sakit terdekat.
“Sindy, kamu kenapa? Ayo bangun dong Sin, ibu enggak tega ngelihat kamu kayak gini” ibu mengkhawatirkan Sindy.
Sesampainya di rumah sakit, Sindy langsung dibawa ke ruang rawat untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan bu Santi dan pak Darmawan menunggunya di luar.
Tak lama kemudian, Dokter yang menangani Sindy keluar dan memberikan kabar tentang keadaan Sindy sekarang ini.
“Bagaimana keadaan Sindy dok?” tanya bu Santi
“Sindy baik-baik saja bu, dia Cuma kecapekan saja. Biarkan dia istirahat dan jangan sampai dia banyak pikiran” jawab pak Dokter.
“Baiklah pak, terimakasih” jawab pak Darmawan.
Bu Santi dan Pak Darmawan menemani Sindy di kamar rawatnya. Bu Santi terus memegang dan mencium tangan Sindy.
“Bangun dong Sin!! maafin ibu ya, ibu enggak bermaksud buat kamu kayak gini. Ibu janji bakal lebih baik dari yang kemaren-kemaren” gumam bu Santi
“Ibu sih, kenapa harus mentingin kepentingan ibu dari pada Sindy. Sindy itu Cuma pingin kita hadir di acara itu, enggak lebih bu” cetus pak Darmawan.
Tak lama kemudian, Sindy sadarkan diri.
“Sindy? kamu sudah bangun? Ibu khawatir sekali” bu Santi mengkhawatirkan Sindy.
“Sejak kapan ibu khawatir dengan Sindy? Bukannya ibu selalu mentingin diri sendiri” cetus Sindy.
“Kok kamu gitu sih Sin sama ibu” jawab ibu
“Sudahlah bu, ibu lupa sama pesan dokter tadi?” sahut pak Darmawan
4 hari Sindy dirawat di rumah sakit, keadaannya pun semakin membaik. Keesokan harinya Sindy pulang ke rumah, sesampainya di rumah, Sindy masih sempat memikirkan lomba tari yang dia ikuti.
“Apakah ibu sama ayah masih tetap tidak mau hadir dalam acara itu?” tanya Sindy kepada orangtuanya.
“Kamu ini baru aja sampai rumah sudah memikirkan yang lain, pikirin dulu kesehatan mu, baru yang lain kamu pikirin” jawab bu Santi.
“ishhh, ibu ini. Kalau ibu sama ayah enggak dateng, Sindy gak mau makan lagi” membuang muka.
Bu Santi dan pak Darmawan membiarkan Sindy istirahat di kamarnya. Di luar kamar, pak Darmawan membujuk bu Santi agar mau menghadiri acara itu.
“Ayo lah bu, kita datang di acara itu. Kasihan Sindy kan?” bujuk pak Darmawan.
“tapi yah, ibu enggak suka dengan tarian Lampung. Ibu juga enggak suka dengan orang Lampung yang seenaknya sendiri, suka marah marah.” Jawab ibu
“Jadi itu alasan ibu untuk melarang Sindy belajar tari dan tidak datang ke acara lomba itu? Kasian Sindy kan kalau dia nanti mengharapkan kedatangan kita? Ayo lah bu” Merayu ibu lagi.
Bu Santi masih merenungkan kedatangannya ke acara tersebut, dengan rayuan pak Darmawan, akhirnya Bu Sindy mau datang ke acara lomba tari seKabupaten. Sindy tidak mengetahui kalau ibu dan ayah nya datang ke acara tersebut.
Saatnya yang kita nantikan datang, acara lomba tari yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Peserta lomba yang tampil pertama adalah peserta lomba dari SMP N 1 Way Jepara. meskipun keadaan Sindy masih kurang sehat, Sindy tetap mengikuti Lomba tari Lampung.
Saat tampil di depan penonton, Sindy melihat semua orang yang hadir. Di sebelah barat terlihat ayah dan ibunya yang hadir dalam acara itu, hati Sindy pun merasa bahagia dan tenang.
“Akhirnya ayah dan ibu datang juga” Gumamnya dalam hati.
Semua peserta lomba telah tampil semaksimal mungkin. Dan saatnya mengumumkan pemenang lomba tari seKabupaten. Juara 3 dan 2 pun telah disebutkan, saatnya mengumumkan juara 1nya.
“Dan yang menjadi juara 1 adalah… SMP N 1 Way Jepara”
Sorak sorai dari pendukung SMP N 1 Way Jepara pun memecah ketegangan mereka. Sindy pun bangga dengan prestasi yang sudah ia capai selama ini.
Pak Darmawan dan Bu Santi menghampiri Sindy dan memeluknya.
“Maafin ibu ya sin, kalau selama ini ibu selalu mentingin keinginan ibu sendiri dan tidak memperhatikan kamu” ibu memeluk Sindy.
“maafin Sindy juga ya bu, kalau Sindy nakal dan susah diatur” Sindy membalas pelukan ibunya.
“Ibu bangga dengan mu Sin, selama ini ibu salah menilai budaya Lampung dan memandang orang Lampung itu menyeramkan.
“Jadi, ibu mengizinkan Sindy mempelajari budaya Lampung terus kan?” tanya Sindy
“Iya sin…” ibu tersenyum
Merekan pun saling berpelukan…
Cerpen Karangan: Putri Sukawati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar